Hukum dan Pranata Pembangunan - Bab 3
Kasus –
Kasus yang terkait dengan Penataan Ruang
A.
Kasus Pertama
Salah
satu kritik yang sering dilontarkan masyarakat dalam penataan ruang adalah
bahwa rencana tata ruang belum cukup efektip sebagai alat kendali pembangunan,
terbukti dengan maraknya berbagai macam penyimpangan. Penyimpangan tata ruang
terjadi pada hampir semua kota dan daerah di Indonesia. Pada kota-kota besar
penyimpangan tersebut bahkan sudah sampai pada tingkatan yang mengkhawatirkan karena
dampak yang ditimbulkannya sangat meresahkan.
Sebagai
contoh di kota Jakarta misalnya, perubahan peruntukan kawasan hunian menjadi
kegiatan komersial seperti yang terjadi di Kemang, Menteng, Kebayoran Baru dan
belakangan ini mulai merambah ke kawasan Pondok Indah, telah menimbulkan
berbagai macam permasalahan antara lain kemacetan lalu lintas, kesemrawutan
bangunan, pencemaran dan penurunan kualitas lingkungan dan lain sebagainya.
Lingkungan hunian yang semula asri menjadi semrawut, bising dan kumuh.
Mengapa
hal tersebut bisa terjadi ? Siapakah yang bersalah ? Mengapa semua saling
lempar kesalahan kepada pihak lain. Aparat menuding hal tersebut sebagai ulah
masyarakat yang tidak mau patuh kepada ketentuan yang berlaku, sebaliknya
masyarakat menuding hal tersebut karena kelemahan dan kecurangan aparat
Sebetulnya
ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan tata ruang dan
semua punya andil dalam hal tersebut , yakni sebagai berikut :
· Lemahnya pengawasan dan penertiban.
· Tidak
ada peraturan yang cukup jelas
· Tidak
adanya sinkronisasi perijinan
· Perilaku
kolusip oknum
· Ketidak
adilan rencana kota
· Prosedur
perizinan yang berbelit-belit
· Terpaksa
karena tidak punya pilihan
1.
Lemahnya
pengawasan dan penertiban.
Penyimpangan
tata ruang tidak akan terjadi apabila fungsi pengawasan dan penertiban
dijalankan dengan baik. Ada beberapa kendala yang dijadikan alasan oleh
pemerintah daerah saat ini, antara lain pengembangan institusi ( pada beberapa
kota dan daerah ) yang khusus menangani tugas perencanaan maupun pengawasan
belum terbentuk, di samping ada keterbatasan sumber daya manusia, biaya dan
sarana penertiban.
2.
Tidak
ada peraturan yang cukup jelas.
Penyimpangan
tata ruang dapat terjadi dalam berbagai modus. Yang paling mudah diketahui
adalah penyimpangan peruntukan. Sedangkan yang paling sulit diketahui adalah
penyimpangan ketentuan-ketentuan teknis, seperti pelampauan Koefisien Dasar
Bangunan, Koefisien Lantai Bangunan, Garis Sempadan Bangunan, jarak bebas
bangunan dan lain sebagainya. Penetapan jenis-jenis peruntukan maupun
ketentuan-ketentuan teknis dalam satuan unit ruang seharusnya mengacu kepada
peraturan zonasi. Tanpa adanya peraturan zonasi ini , tidak ada dasar hukum
yang kuat untuk menindak semua jenis pelanggaran, karena perizinan yang diterbitkan
itu sendiri sesungguhnya “cacat hukum” , sehingga apabila terjadi konflik yang
diselesaikan lewat lembaga peradilan pemerintah seringkali dikalahkan. Bagi
aparat juga sulit untuk mengambil tindakan atas berbagai macam pelanggaran,
karena tidak jelas pasal mana yang dilanggar dan tidak jelas juga sanksi yang
akan diberikan.
Saat
ini dapat dikatakan hampir semua kota di Indonesia belum memiliki peraturan
zonasi dimaksud.
3.
Tidak
adanya sinkronisasi perizinan
Penyimpangan
tata ruang juga terjadi akibat tidak adanya sinkronisasi perizinan. Contoh yang
paling gamblang adalah kasus Kemang, Kebayoran Baru dan terakhir Pondok Indah.
Meskipun dari aspek tata ruang, terjadinya perubahan peruntukan hunian ke
kegiatan komersial adalah menyimpang, tetapi dari aspek pengembangan usaha
mungkin kegiatan tersebut seratus persen legal, karena memiliki izin usaha dari
instansi terkait. Sebagaimana diketahui bahwa pada masa lalu sebelum otonomi
daerah dilaksanakan, izin usaha perdagangan, industri, hotel dan restoran dan lain
sebagainya, diterbitkan oleh para Kanwil, baik Kanwil Pariwisata, Perindustrian
dan Perdagangan yang lebih loyal kepada pimpinannya di pusat, ketimbang kepada
pimpinan daerah. Namum ironisnya situasi tersebut tetap berlanjut dalam era
otonomi daerah sekarang ini. Padahal semua kewenangan tersebut telah
dilimpahkan ke daerah. Unit-unit daerah terkait yang menangani hal tersebut
belum mau dan bahkan tidak mau menjadikan rencana tata ruang sebagai pedoman
dalam menerbitkan perizinannya.
4.
Perilaku
kolusip oknum yangmenangani penataan ruang
Selain
itu sikap aparat di lingkungan unit yang diserahi tanggung jawab dalam penataan
ruang, banyak yang bermental bobrok. Secara sadar mereka melakukan manipulasi
terhadap rencana tata ruang. Akibatnya banyak ditemukan perizinan aspal, asli
tetapi palsu. Berbagai cara dilakukan antara lain dengan memanipulasi data
lokasi yang dimohon dengan merubah kordinat situasi terukur, manipulasi
perizinan yang diterbitkan dengan merubah peruntukan, menerbitkan izin yang
tidak sesuai blue print rencana tata ruang dan lain sebagainya untuk
lokasi-lokasi yang bermasalah. Demikian juga dengan aparat pengawasan yang
dengan sengaja membiarkan terjadinya berbagai macam pelanggaran dengan
mengharap dapat memperoleh berbagai imbalan.
5.
Ketidak
adilan rencana kota
Undang-undang
tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa penataan ruang harus memenuhi asas-asas
keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Tetapi kenyataannya
keempat asas tersebut belum betul-betul dilaksanakan dalam penyusunan rencana
tata ruang. Banyak masyarakat yang dirugikan oleh rencana tata ruang sebab
tidak dapat memanfaatkan lahan yang dimiliki, karena ditetapkan untuk
kepentingan umum atau sarana dan prasarana kota seperti jalan, ruang terbuka
hijau, sekolah dan lain sebagainya. Sesungguhnya apabila ada kepastian kapan
lahan mereka akan dibebaskan dan tentunya dengan gantirugi yang wajar maka
sebetulnya hal tersebut tidak akan men imbulkan masalah. Tetapi kepastian
tersebut tidak pernah ada. Bahkan ada masyarakat yang telah menunggu puluhan
tahun tetapi sampai sekarang lahannya tidak kunjung dibebaskan Akhirnya mereka
mengambil jalan pintas membangun tanpa izin ,bekerja sama dengan aparat
perencanaan maupun pengawasan untuk melakukan berbagai macam pelanggaran.
Prosedur
perizinan yang berbelit-belitProsedur perizinan yang berbelit-belit, lambat dan
biaya tinggi dapat menyebabkan masyarakat frustasi. Akhirnya hal tersebut
mendorong masyarakat untuk juga dengan berbagai cara membangun tanpa izin, yang
belum tentu sesuai dengan rencana tata ruang. Terpaksa karena tidak punya
pilihan
Penyimpangan
juga dilakukan oleh kelompok masyarakat yang karena terdesak untuk kelangsungan
hidupnya, menyerobot lahan-lahan strategis pengamanan objek-objek penting
seperti bantaran kali, kolong jembatan, ruang terbuka hijau dan lain
sebagainya. Mereka pada umumnya tidak punya pilihan lain karena pendapatan
mereka tidak cukup untuk membeli rumah.
B.
Kasus Kedua
Lokasi
kasus pelanggaran dan izin Grand City Mall” berada di kawasan Gubeng, tepatnya
antara Jalan Walikota Mustajab dan Jalan Kusuma Bangsa berdekatan dengan
Stasiun Surabaya Gubeng. Kawasan Gubeng ini yang bertepatan dengan Jalan
Walikota Mustajab dan Jalan Kusuma Bangsa berdekatan dengan Stasiun Gubeng yang
kerap kali mengalami kemacetan luar biasa akibat dampak dari berbagai kegiatan
dan aktivitas yang ada di sekitar koridor jalan ini maupun aktivitas pergerakan
lain yang melewati jalan ini.
Jalan
Walikota Mustajab dan Jalan Kusuma Bangsa merupakan salah satu jalan primer
yang berada disebelah timur Kota Surabaya yang menjadi tempat lalu lalangnya
kendaraan-kendaraan mobil dan kendaraan bermotor lainnya, serta kendaraan berat
lainnya seperti truck, pick up. Selain itu banyak terdapat aktivitas-aktivitas
yang mendukung kegiatan utama di sekitar jalanJalan Walikota Mustajab dan Jalan
Kusuma Bangsa yang merupakan area fasilitas bangunan umum dan pemerintahan
serta fasilitas perbelanjaan. Secara umum Jalan Jalan Walikota Mustajab dan
Jalan Kusuma Bangsa berbatasan langsung dengan jalan Wijaya Kusuma pada sebelah
barat, Jalan Gerbong dan Jalan Pacar Keling pada sebelah timur dan Jalan
Kenonggo pada sebelah selatan. Sementara sebelah utara berbatasan langsung dengan
Jalan Ambengan sebelah . Berikut ini adalah peta yang diambil dari citra google
map yang menggambarkan lokasi Jalan Walikota Mustajab dan Jalan Kusuma Bangsa.
Kasus
dari Grand City Mall ini tidak memiliki izin andalalin. Dampak dari pelanggaran
ini mengakibatkan berbagai dampak lingkungan, sosial dan menimbulkan kemacetan
yang amat parah di sekitar jalan ini. Berikut ini adalah kutipan artikel
terkait kasus yang di kaji regulasinya dalam tulisan ini.
“Surabaya-lensaindonesia.com: Tak
hanya tempat-tempat hiburan saja yang tak punya ijin di Surabaya. Plasa besar
Grand City Mall ternyata juga tidak memiliki ijin Analisa Mengenai Dampak
Lingkungan (AMDAL). Bahkan, ijin gangguan atau (HO) ternyata belum diperpanjang
karena masa berlakunya habis sejak 13 Oktober 2014.
Artinya,
jika AMDAL tidak bisa keluar atau bangunan mall tidak memenuhi kaedah atau
perayaratan, maka HO bangunan tersebut tidak bisa diperpanjang. Salah satu
faktor Grand City Mall tidak memenuhi AMDAL dikarenakan pintu masuk mall dari
Jl Walikota Mustajab (Gubeng Pojok) harus ditutup karena menyebabkan macet.
Meski begitu, anehnya, sampai saat ini Grand City Mall tetap beroperasi atau
beraktifitas tanpa ada tindakan.
Menyikapi
hal itu, Komisi C DPRD Surabaya akhirnya menggelar hearing dengan menghadirkan
Kasatpol PP Surabaya, BLH, dan perwakilan Grand City Mall.
Kasatpol
PP Irvan Widyanto saat hearing di Komisi C DPRD Surabaya mengatakan pihaknya
sudah melakukan langkah persuasif dengan memberi peringatan melalui surat.
Pihaknya berdalih masih melakukan koordinasi untuk melakukan sikap. Hal ini
dilakukan karena ada beberapa kaedah terkait pihaknya sebagai sebagai penegak
Perda harus berkonsultasi dengan pihak terkait untuk mengambil tindakan.
“Pihak
Grand City Mall sudah berjanji akan memenuhi segala persyaratan. Saya sudah
mengirim surat peringatan agara mereka mengurus ijin HO-nya yang selama ini
mati. Karena kami tanya ke BLH memang sudah ada HO tapi mati dan sampai
sekarang belum memperpanjang,” ungkapnya.
Untuk
itu pihak Satpol PP Surabaya berjanji akan mengambil keputusan yang merupakan
hasil rapat dengan berbagai dinas terkait. “Kami ini memang penegak Perda. Tapi
kalau tidak sesuai aturan, ya sama saja nanti bisa digugat. Makanya kami selalu
berkoordinasi dengan bagian hukum dan yang lain, ” dalih Irvan Widyanto.
Terkait
hal ini, Komisi C DPRD Surabaya, Adi Sutarwiyono mengatakan ada kesan pilih
kasih dalam menegakkan aturan yang ada. Pemerintah dalam hal ini dianggap
melakukan standar ganda dalam mengambil tindakan. “Artinya kalau gudang ukuran
10×10 di robohkan, begitu juga dengan yang lainya. Kalaupun tindakan itu
sebatas menghentikan segala bentuk aktifitas, ya harus dilakukan,” kata
politisi yang akrab disapa Awi ini.
Lain
halnya dengan anggota Komisi C DPRD Kota Surabaya, Sudirjo. Politisi asal
fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini lebih menyinggung soal kemacetan parah
yang sering terjadi di Grand City Mall. Padahal dulu, sebelum bangunan itu
berdiri, jalan yang ada di kawasan Grand City Mall tidak pernah mengalami
kemacetan.
“Kalau memang
Grand City Mall berdiri di Surabaya ya harus mematuhi peraturan yang ada di
kota Surabaya. Karena akibat bangunan Grand City Mall, lalu lintas menjadi
macet. Padahal sebelum adanya Grand City Mall, jalan itu tidak pernah macet,”
tambah Sudirjo.
Sementara
Ketua Komisi C Saifudin Zuhri hanya berharap Kasatpol PP Irvan Widyanto
menjelaskan kapan ada tindakan dan laporan penertibannya seperti apa. “Kan
sudah tiga bulan. Apa saja yang dilakukan Satpol PP kan kami juga perlu tahu.
Kalau hanya menyurati ya sampai kapan. Peringatan selalu ada batasnya,”
cetusnya.
Terkait
hal ini, Operation Manager Grand City Mall Surabaya, Stevi Widya beralasan,
bahwa pihaknya sudah mengurus untuk masalah IMB-nya. Namun, surat perijinan
tersebut masih ditahan Dinas Perhubungan (Dishub) Surabaya dengan alasan pihak
Grand City Mall harus menutup terlebih dahulu pintu bagian sisi barat, baru IMB
bisa keluar.
Sumber
:
Komentar
Posting Komentar