Hukum dan Pranata Pembangunan - Bab 4


Solusi

Beberapa persoalan terkait tata ruang yang menjadi konsen adalah permasalahan koversi penggunaan lahan, kedua, menurunnya kualitas ruang karena eksklusifitas permukiman, kemudian kesenjangan pembangunan kawasan antar wilayah.

Solusi untuk mengatasi isu permasalahan tersebut, yaitu dengan mengacu pada UU No. 26/2007 mengenai Penataan Ruang :

1.      Pengawasan oleh aparat perlu ditingkatkan. Penertiban harus dilakukan sedini mungkin dan jangan menunggu setelah perkembangan di lapangan terlanjur jauh. Disamping itu sudah waktunya masyarakat dilibatkan secara langsung dalam pengawasan, caranya adalah dengan mengumumkan secara luas kepada masyarakat perizinan yang telah diterbitkan, baik yang menyangkut rencana kota, IMB, izin usaha dlsbnya, misalnya melalui Dewan Kelurahan (Jakarta) atau LSM di daerah. Dengan demikian masyarakat dapat mengetahui peruntukan untuk setiap lokasi yang dimohon dan kalau pelaksanaan pembangunannya menyimpang dapat melaporkannya kepada yang berwenang. Sanksi tidak hanya diberikan kepada masyarakat yang melanggar tetapi juga kepada aparat.

2.     Semua daerah dan kota harus memiliki peraturan zonasi. Seyogyanya peraturan ini merupakan peraturan nasional agar terjalin kesinambungan rencana dari tingkat nasional sampai ke tingkat lokal. Namun sambil menunggu, kota-kota dan daerah dapat mengambil inisiatip untuk menyusun peraturan zonasi ini dan ditetapkan dengan peraturan daerah, sehingga rencana tata ruang sampai pada tingkat operasionalnya akan memiliki landasan hukum yang kuat.

3.     Ke depan tidak ada pilihan lain bahwa dalam proses penyusunan rencana tata ruang pada berbagai tingkatan harus melibatkan peran serta masyarakat secara aktip. Prinsip yang harus ditegakkan untuk memenuhi keempat asas penataan ruang sebagaimana tersebut dalam uraian sebelumnya adalah bahwa setiap orang yang memiliki sebidang tanah yang sah harus dihormati hak kepemilikannya (property right) dan harus dijamin haknya untuk memanfaatkan atau membangun lahannya bagi kepentingannya sendiri ( development right ).

4.     Prosedur perizinan harus disederhanakan. Pelayanan prima untuk masyarakat menengah bawah seperti yang diselenggarakan Pemda DKI Jakarta di setiap kecamatan merupakan langkah yang sangat baik, tetapi belum diikuti pada tingkat kotamadya.

5.         Sudah waktunya dikembangkan e permit untuk mencegah terjadinya manipulasi perizinan. Atau sekurang-kurangnya semua perizinan yang menyangkut tata ruang sudah harus berbasis digital, sehingga tidak ada lagi pekerjaan yang dilakukan secara manual. Dengan demikian proses pekerjaan dapat dilakukan lebih cepat dan dengan sendirinya penghematan waktu juga akan tercapai.


6.       Harus dilakukan kordinasi perizinan antar instansi terkait. Sekarang ini tidak ada lagi Kanwil-kanwil yang menerbitkan perizinan di tingkat propinsi, kabupaten dan kota dan sudah sepenuhnya berada dibawah kendali Gubernur, Bupati dan Walikota. Oleh karena itu semua perizinan yang menyangkut pemanfaatan bangunan harus menjadikan rencana tata ruang sebagai acuan. Antara izin usaha dengan rencana tata ruang tidak boleh bertentangan. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut seperti yang diterapkan pada beberapa kota di Amerika, untuk kegiatan non hunian ditetapkan persyaratan harus memiliki sertifikat penggunaan zoning. Disini paling tidak sebagai langkah awal hal tersebut dapat diatur melalui instruksi ataupun keputusan gubernur bupati dan walikota kepada instansi terkait, yang menegaskan bahwa dalam menerbitkan perizinan harus mengacu kepada rencana tata ruang

Komentar

Postingan Populer